Ketika Zonasi Jadi Topik Hangat di Dunia Pendidikan

Setiap tahun ajaran baru tiba, satu topik yang selalu ramai diperbincangkan adalah Sistem Zonasi Sekolah. Banyak orang tua, siswa, bahkan guru, punya pandangan berbeda-beda tentang kebijakan ini.

Bagi sebagian orang, sistem zonasi dianggap langkah tepat untuk menciptakan pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun, bagi sebagian lainnya, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru—mulai dari siswa yang tidak bisa masuk sekolah impian, sampai munculnya praktik “titip alamat” agar bisa diterima di sekolah favorit.

Lalu, sebenarnya apa sih tujuan awal Sistem Zonasi Sekolah, dan apakah kebijakan ini benar-benar berhasil mencapai tujuannya?

Apa Itu Sistem Zonasi Sekolah

Sederhananya, Sistem Zonasi Sekolah adalah kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengutamakan jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah.

Artinya, siswa yang tinggal di dekat sekolah memiliki prioritas lebih tinggi untuk diterima dibandingkan siswa yang rumahnya jauh—meskipun nilai akademiknya mungkin lebih tinggi.

Kebijakan ini pertama kali diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai bagian dari program pemerataan kualitas pendidikan. Harapannya, semua siswa bisa mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus berebut masuk ke “sekolah favorit”.

Secara umum, jalur PPDB dibagi menjadi tiga kategori utama:

  1. Zonasi (minimal 50%) – Berdasarkan domisili tempat tinggal.

  2. Prestasi (maksimal 30%) – Berdasarkan nilai akademik atau non-akademik.

  3. Perpindahan Orang Tua (maksimal 5%) – Untuk anak yang ikut orang tua berpindah domisili karena pekerjaan.

Tujuannya terdengar bagus. Tapi dalam praktiknya, banyak hal yang membuat kebijakan ini jadi perdebatan.

Baca Juga: Jurusan Terbaik UNAIR yang Jadi Pilihan Favorit Terpopuler Di 2025

Tujuan Awal Sistem Zonasi Sekolah

Kebijakan Sistem Zonasi Sekolah sebenarnya tidak dibuat asal-asalan. Ada beberapa alasan penting di baliknya, yaitu:

1. Pemerataan Akses Pendidikan

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan Indonesia sering kali tidak merata. Sekolah-sekolah tertentu dikenal “unggulan”, sementara sekolah lain dianggap biasa saja. Akibatnya, siswa dari keluarga mampu berebut masuk ke sekolah favorit, sementara siswa dari daerah sekitar sering terpinggirkan.

Dengan sistem zonasi, diharapkan setiap anak punya kesempatan yang sama untuk bersekolah di tempat yang layak, tanpa harus kalah saing karena faktor ekonomi atau nilai ujian semata.

2. Menghapus Label Sekolah Favorit

Salah satu niat baik dari zonasi adalah menghapus istilah “sekolah unggulan”. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa semua sekolah seharusnya punya kualitas yang setara, sehingga tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan nama sekolah.

3. Mendekatkan Siswa ke Lingkungan Belajar

Dengan sistem zonasi, siswa bisa bersekolah lebih dekat dari rumah. Ini tidak hanya menghemat biaya transportasi, tapi juga membuat siswa lebih mudah berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Manfaat yang Terasa dari Sistem Zonasi Sekolah

Walau banyak dikritik, sebenarnya ada sejumlah manfaat yang muncul dari penerapan Sistem Zonasi Sekolah.

1. Pemerataan Jumlah Siswa

Sebelum ada zonasi, sekolah unggulan sering kelebihan murid, sementara sekolah lain kekurangan siswa. Dengan sistem ini, distribusi siswa menjadi lebih merata.

Sekolah-sekolah di pinggiran pun mulai memiliki jumlah murid yang seimbang, sehingga fasilitas dan tenaga pengajar bisa dimanfaatkan lebih optimal.

2. Meningkatkan Peran Sekolah Lokal

Sekolah yang dulu dianggap “biasa-biasa saja” kini mendapat kesempatan untuk berkembang. Karena menerima lebih banyak siswa dari sekitar, sekolah-sekolah tersebut punya dorongan untuk memperbaiki kualitas pengajaran dan fasilitas.

3. Mengurangi Biaya dan Tekanan

Bayangkan siswa yang setiap hari harus berangkat jauh ke sekolah hanya demi status “favorit”. Dengan zonasi, mereka bisa bersekolah di tempat yang dekat, waktu perjalanan lebih singkat, dan biaya transportasi berkurang.

Selain itu, tekanan untuk selalu mengejar nilai tertinggi agar bisa masuk sekolah tertentu juga sedikit berkurang.

Namun, Sistem Zonasi Sekolah Juga Punya Masalah

Di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan berbagai masalah baru di lapangan. Tidak sedikit siswa dan orang tua merasa dirugikan dengan sistem ini.

1. Tidak Semua Daerah Punya Sekolah Berkualitas

Masalah terbesar dari Sistem Zonasi Sekolah adalah ketimpangan kualitas antar sekolah. Di daerah tertentu, ada sekolah yang fasilitasnya bagus, tapi di daerah lain, ada yang masih kekurangan guru dan sarana belajar.

Akibatnya, siswa yang tinggal di daerah dengan sekolah “kurang bagus” terpaksa bersekolah di sana karena aturan zonasi, meskipun mereka ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

2. Munculnya “Alamat Palsu”

Karena sistem ini berbasis jarak tempat tinggal, banyak orang tua yang akhirnya mencari cara agar anaknya tetap bisa masuk sekolah favorit. Salah satu trik yang sering terjadi adalah menggunakan “alamat palsu” — meminjam alamat kerabat atau bahkan menyewa rumah di dekat sekolah.

Fenomena ini menimbulkan masalah baru: kebijakan yang seharusnya adil malah menjadi ajang manipulasi.

3. Siswa Berprestasi Tidak Selalu Dapat Sekolah yang Diinginkan

Bagi siswa yang punya prestasi tinggi, sistem ini kadang terasa tidak adil. Mereka mungkin gagal masuk ke sekolah pilihan hanya karena jaraknya terlalu jauh, meskipun nilainya bagus.

Hal ini menimbulkan perasaan kecewa dan demotivasi, terutama bagi siswa yang sudah berjuang keras di akademik.

4. Ketimpangan Fasilitas dan Guru

Sekolah di kota besar biasanya punya fasilitas lengkap dan guru berpengalaman. Sementara di pinggiran, masih banyak yang kekurangan. Sistem zonasi tanpa pemerataan kualitas justru memperkuat kesenjangan ini.

Kalau kualitas antar sekolah tidak seimbang, zonasi malah memperjelas ketidakadilan, bukan memperbaikinya.

Pandangan Orang Tua dan Siswa terhadap Sistem Zonasi Sekolah

Setiap kali PPDB dimulai, media sosial selalu ramai dengan keluhan dan opini tentang sistem zonasi.

Bagi sebagian orang tua, sistem ini dianggap “tidak logis”. Mereka merasa seharusnya penerimaan siswa tetap mempertimbangkan prestasi, bukan sekadar alamat.

Namun, ada juga yang mendukung. Mereka berpendapat bahwa sistem zonasi memaksa sekolah-sekolah biasa untuk meningkatkan kualitas. Kalau semua sekolah menjadi bagus, maka istilah “favorit” memang tidak lagi relevan.

Sementara itu, banyak siswa yang berada di posisi tengah. Mereka mengakui bahwa zonasi membantu sebagian teman untuk bersekolah lebih dekat, tapi juga mengakui bahwa tidak semua daerah punya fasilitas pendidikan yang memadai.

Apakah Sistem Zonasi Sekolah Perlu Diperbaiki?

Sebenarnya, ide dasar Sistem Zonasi Sekolah sangat baik — yaitu pemerataan pendidikan. Tapi masalahnya bukan di konsep, melainkan di implementasi.

Banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa sistem ini perlu diperbaiki agar lebih fleksibel dan adil. Misalnya:

  • Mengombinasikan sistem zonasi dengan penilaian prestasi yang lebih seimbang.

  • Memperbaiki kualitas sekolah di semua daerah agar pemerataan bisa benar-benar tercapai.

  • Memberi pengecualian untuk daerah dengan distribusi sekolah yang belum merata.

Dengan langkah-langkah seperti ini, sistem zonasi bisa tetap menjadi solusi, bukan sumber masalah baru.

Zonasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Kalau dilihat secara jangka panjang, Sistem Zonasi Sekolah bisa menjadi langkah awal menuju pemerataan pendidikan yang sesungguhnya. Tapi, tentu tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan di atas kertas.

Butuh kolaborasi antara pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat agar sistem ini berjalan efektif.

Guru perlu mendapatkan pelatihan agar kualitas pengajaran di semua sekolah setara. Sekolah juga perlu dukungan fasilitas, sementara orang tua dan siswa perlu memahami bahwa pendidikan bukan hanya tentang “sekolah favorit”, tapi tentang proses belajar yang bermakna.

Pada akhirnya, zonasi bisa jadi solusi — tapi hanya jika semua pihak terlibat untuk membuat sistem ini benar-benar adil dan bermanfaat.